&&. PROLOGUE
BAE MARIN, adalah asma yang tersemat bagi si nona nuda, sejak kali pertama ia tiba di bumi manusia. Ia merupakan buah hati dari pasangan Bae Hwangju dan Hwang Anna, yang lahir tepat pada saat bunga sakura mekar di tahun 2001. Kelahirannya mendatangkan bahagia bagi pasangan Bae——itu pasti. Tetapi, banyak pula yang membenci kedatangannya, lebih-lebih ingin menyakiti dirinya. Kau tentu bertanya, apakah gerangan hal yang membuat eksistensinya begitu dibenci oleh banyak pihak; seolah ia pernah melakukan salah. Ia memang tak pernah berbuat salah, tetapi ... kelahirannya lah, yang merupakan sebuah kesalahan.
Ini, dikarenakan Marin yang lahir dari rahim wanita simpanan yang tak pernah dinikahi secara legal oleh Bae Hwangju. Hal ini, jelas memantik api amarah dari istri sah Hwangju—Kim Wolhee—beserta keluarga besar Kim yang amat terpandang. Meski pernikahan Bae Hwangju dan Kim Wolhee tidak didasarkan oleh cinta dan keduanya telah sepakat ‘tuk membiarkan satu sama lain berkencan dengan pihak ketiga—dalam diam, tentu—tetapi, hal ini tak menghentikan Wolhee dan keluarganya untuk tak membenci Hwang Anna dan Bae Marin. Entah, karena Wolhee khawatir reputasi Hwangju sebagai politisi terpandang akan rusak ‘pabila berita kelahiran anak 'haram' ini terendus oleh media, atau karena perempuan itu diam-diam iri sebab hingga kini, ia tak kunjung diberikan keturunan? Entahlah, tiada satupun yang tahu perihal alasan yang sesungguhnya.
Atas dasar kebencian ini pula, berbagai macam usaha pembunuhan telah dilayangkan oleh kaki tangan Wolhee sejak Marin berusia empat tahun. Penyusup, pengkhianat, pembunuh yang terang-terangan menyerang; semuanya dilalui oleh Anna dan Marin, hari demi hari. Apakah Hwangju akan diam saja dengan hal ini? Tentu tidak. Beragam daya upaya telah dilancarkan ‘tuk melindungi eksistensi dua gadis yang amat dicintainya itu. Ancam demi ancam dilayangkan si kepala keluarga kepada Wolhee, tetapi wanita itu tidak pernah mendengarkan dan justru berbalik mengancam Bae Hwangju. Hal ini kembali menyadari si tuan, bahwa Wolhee dan keluarganya memiliki kekuasaan yang kuat, sehingga tiada satupun yang bisa lolos dari cengkraman biadabnya.
Puncaknya adalah ketika Bae Marin baru saja melewati pergantian umur; tujuh tahun, usianya kala itu. Tepat setelah pesta ulang tahun yang hanya dirayakan bertiga secara diam-diam di rumah persembunyian Bae Hwangju, terdengar suara tembakan beberapa kali; asalnya dari pembunuh bayaran yang diduga disewa oleh Wolhee untuk—sekali lagi—mengeliminasi presensi Marin. Atas penyerangan ini, Hwang Anna lah yang menjadi korban. Ia tertembak tiga kali, salah satunya tepat mengenai dada; amat fatal. Membuat figurnya terbujur kaku tanpa nadi, bersimbah darah yang memenuhi lantai. Sedangkan Hwangju? Ia sibuk membawa lari sang puteri semata wayang, melintasi hutan belantara yang membentang di belakang rumah persembunyian. Pada rengkuhannya terdapat sosok Marin, yang sibuk menangis tanpa henti; bisa jadi, ia mengetahui bahwa ibunya terjebak di rumah bersama ‘orang jahat‘, seperti yang pernah dilihatnya di dalam televisi.
Mereka berdua berjalan cukup jauh, hingga sebuah keajaiban datang; lewat sebuah truk yang menawarkan tumpangan. Betapa beruntungnya mereka, sebab nampaknya, sang supir sama sekali tak mengenali penumpang yang ia selamatkan sebagai seorang Bae Hwangju—politisi muda yang tengah meniti karier cemerlangnya. Tujuan mereka adalah rumah salah satu orang kepercayaan Hwangju, yang bisa menjamin keselamatannya dan Bae Marin. Pada malam yang sama, Hwangju jua memesankan tiket satu arah menuju Austria. Untuk siapa? Tentu, untuk si kecil Bae Marin. Ia berniat untuk menyembunyikan sang anak di sana, bersama salah seorang kerabat yang keberadaannya tak pernah terendus oleh Kim Wolhee maupun keluarganya.
“Kau akan aman di sana, Marin. Ayah percaya, kau bisa melewatinya,“
“Tapi, Ayah——mengapa kita berpisah?” Oh, Marin kecil yang malang. Ia tak menyadari, bahwa dirinya tidak akan bisa melihat sang ayah untuk waktu yang lama——sangat lama.
Alih-alih menjawab pertanyaan sang puteri, yang dilakukan Hwangju hanyalah memberi satu kecupan pada kening Bae Marin. “Nanti, Ayah janji akan menjemput Marin. Kita pasti akan bertemu lagi. Ayah sayang Bae Marin.”
Dan, begitu saja. Mereka berpisah, tak lama setelah Hwangju ucap kata terakhirnya. Marin yang masih bersedih karena baru saja berpisah dengan kedua orangtuanya, akhirnya dibawa menjauh oleh sang kaki tangan, jauh ... sampai ke benua seberang. Tanpa diberi penjelasan apa yang tengah terjadi, tanpa diberi tahu siapa yang akan ditemuinya di Austria. Ia masih berusia tujuh tahun sewaktu itu, dan segalanya seolah terlalu berat untuk dilewati gadis seusia tujuh seorang diri.
Sesampainya di Kota Wina—Austria, Marin disambut oleh seorang perempuan dengan perawakan Asia—yang kelihatan lebih muda dari sang ibu—yang mengaku sebagai Theresa Cheon. Sempat bertanya-tanya siapakah gerangan wanita itu, dan usut punya usut, rupanya ia adalah salah satu sepupu Hwangju yang memisahkan diri dari keluarga Bae, dan merubah marganya menjadi Cheon. Theresa juga berulang kali memberi penenangan pada Marin, bahwa ia akan baik-baik saja.
Baik-baik saja. Pernahkah sekali dalam hidup, ia merasa baik-baik saja? Sepertinya, tidak. Akankah ia baik-baik saja, setelah mengetahui bahwa ia telah kehilangan ayah dan ibunya dalam satu malam? Jelas, tidak.
Meski begitu, Marin akan tetap melanjutkan hidup dengan berpegangan pada janji sang ayah——bahwa mereka akan bertemu lagi. Dan Marin? Ia selalu menunggu Hwangju untuk memenuhi janjinya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Tak terasa, puteri tunggal Bae itu sudah berusia delapan belas tahun dan sang ayah, masih tak kunjung menepati janjinya. Marin yang sudah beranjak dewasa, ia sudah tak lagi mempercayai janji ayahnya di masa lalu. Ia tumbuh menjadi seorang gadis yang tak mau percaya kepada siapapun—selain pada Theresa Cheon yang mengurusnya dengan amat baik—jua, berjanji untuk tidak akan pernah mencintai siapapun lagi. Karena, cinta hanya membohonginya—seperti sang ayah—dan cinta hanya akan merenggut orang yang ia sayangi, seperti yang terjadi pada ibunya. Pun, Marin memutuskan untuk merubah namanya menjadi MARIE CHEON dan melupakan segala yang pernah terjadi di masa lalu. Ia sudah muak, sungguh.
Hanya saja, satu hari di bulan April 2019 rupanya berhasil membuatnya mempertanyakan dirinya sendiri. Theresa Cheon, tiba-tiba menunjukkan padanya perihal sebuah berita dengan judul “BAE HWANGJU, KANDIDAT KUAT PRESIDEN KOREA SELATAN SELANJUTNYA?” dengan foto yang amat dikenali berada di samping tulisan itu. Iya, Marin jelas mengenali sosok itu. Dia adalah ayahnya, seseorang yang pernah membuatnya amat percaya akan sebuah janji. Melihat sang ayah yang hidup dengan baik, membuatnya sedikit lega. Marin tak bisa menampik bahwa ia merindukan sosok itu, dan sang ibu asuh sepertinya jua menyadarinya. Hal itulah yang membuat Marin ikut mempertanyakan dirinya sendiri, apakah ia sudah berhasil melupakan seluruh masa lalu kelamnya atau justru ia masih terbelenggu di dalamnya? Belum lagi, fakta di mana ia hingga kini belum mengetahui fakta di balik tragedi yang menewaskan sang ibu, sebelas tahun yang lalu.
Bersamaan dengan itu, Theresa menyodorkan sebuah formulir pendaftaran universitas, dengan tulisan SEOUL NATIONAL UNIVERSITY yang tercetak tebal di sana. Memang, Marin tengah menyiapkan diri untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Fashion Institute of Technology menjadi pilihan utama, di mana ia akan kembali belajar sebagai seseorang mahasiswa. Tetapi, ketika melihat formulir yang ditawarkan oleh Theresa, Marin dibuat kembali berpikir. Apakah ini saat yang tepat untuk menagih janji pada sang ayah, sekaligus mengusut kebenaran di balik tragedi sebelas tahun silam?
Butuh waktu satu minggu bagi Marin ‘tuk meyakinkan dirinya sendiri perihal jalan yang hendak ia ambil. Menuju Seoul National University. Menuju kota kelahirannya, Seoul. Menuju sang ayah dan segala teka-teki yang membungkusnya. Menuju marabahaya yang mungkin, masih mengejarnya. Atas semua resiko yang mungkin terjadi, Cheon Marin akan menerimanya.
“Ini semua demi janji, demi kebenaran, demi Ibu ... dan demi diriku sendiri.”